Pertahanan negara paling mendasar adalah pangan. Maka kedudukan pangan menjadi sangat layak sebagai komoditas strategis nasional. Namun selama ratusan tahun kita sudah terlena akibat kondisi tanah yang umumnya subur dan berpotensi tinggi menghasilkan aneka ragam pangan. Namun setelah berkali-kali kita terbukti selalu impor pangan, maka upaya mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan di negara agraris ini menjadi sebuah kebutuhan yang wajib hukumnya. Bagaimana caranya?
Alkisah bahan pangan pokok negara kita dulunya sangat beraneka, dari beras, ketela, jagung, sagu dan umbi-umbian. Namun ‘entah siapa yang salah’ dalam beberapa dekade kita seperti menyepakati bahwa pertanian pangan identik dengan padi/beras. Akibatnya sumber pangan lain menjadi dianggap tidak penting dan lambat laun semakin tidak tersedia. Lihatlah banyak komoditas pangan sudah langganan impor, seperti beras, kedelai, gula, buah-buahan dan sayuran. Rasanya aneh, karena lahan pertanian dalam negeri terkenal subur dan sangat layak untuk komoditas pangan. Mengapa semua ini terjadi?
Kita belum membuat pemetaan rekomendasi komoditas, menekankan, mempraktekkan dan mengawasi. Sehingga para petani tertib mengembangkan komoditas pangan sesuai arahan. Namun para petani juga butuh kepastian harga, sehingga hasil produksi lebih menguntungkan. Faktanya para petani seperti dibiarkan sendirian menghadapi serbuan aneka bahan pangan impor dengan perlindungan dari negara produsen.
Sebenarnya kita sudah berupaya melindungi keberadaan lahan pertanian pangan, namun implementasi pemetaan sawah dengan LPPB (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, LBS (Luas Baku Sawah) dan LSD (Luas Sawah Dilindungi); dilaksanakan oleh instansi yang berbeda. Sehingga fungsi koordinasi dan kolaborasi sangat sulit dilakukan. Apalagi tekanan keberadaan sawah dari laju konversi lahan ke non sawah semakin sulit dibendung. Pembuatan kebijakan yang diikuti dengan penerapan insentif dan disinsentif sangat sulit diterapkan, karena pihak lain yang akan melakukan alih fungsi punya kekuatan ekonomi yang jauh lebih besar.
Sementara itu sumber pangan lain seperti ketela pohon, ketela rambat, jagung, sagu, dll., keberadaannya kurang dikelola secara sistematis. Sehingga kita bisa melihat fakta beberapa umbi-umbian seperti ganyong, garut, dll. semakin sulit ditemukan di kebun masyarakat. Malahan kita tergoda mengembangkan komoditas pangan lain yang pengolahannya bersifat khusus, seperti porang.
Penyusunan strategi kemandirian dan kedaulatan pangan diawali dari pemetaan potensi secara regional dari wilayah NKRI, dimana potensi kesuburan tertinggi secara berurutan dimulai dari Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi, Pulau Papua dan Pulau Kalimantan. Urutan ini harus menjadi pertimbangan utama dalam upaya perlindungan lahan penghasil pangan, misalnya saat menentukan lokasi untuk program lumbung pangan nasional (food estate).
Langkah berikutnya berupa pemetaan komoditas pangan secara nasional, regional dan provinsi. Sehingga jelas padi dikembangkan dimana saja. Jagung ada dimana. Kedelai dimana. Dan seterusnya. Kebijakan ini perlu dilaksanakan dan wajib dipatuhi semua komponen sampai pada pemerintahan desa. Sehingga pengembangan komoditas lokal, misalnya OVOP (one village one product) harus mengacu kebijakan pangan di atasnya.
Para petani sebagai ujung tombak pelaksana di lapangan pun perlu mendapatkan pendampingan dari hulu sampai hilir. Termasuk kepastian pembelian produk yang menguntungkan. Kita kelompokkan petani berdasarkan komoditasnya, misalnya petani pagi, petani kedelai, dll.
Pelaksanaan program strategis nasional dalam kemandirian dan kedaulatan pangan yang dilaksanakan pemerintah pusat sampai daerah, perlu bermitra dengan perusahaan untuk pasca panen sampai pemasaran produk dan bermitra dengan perguruan tinggi untuk pendampingan petani secara berkelanjutan.